Minggu, 11 Februari 2024

Kisah Wabishah bin Ma’bad dalam Menentukan Pilihan

Kisah Wabishah bin Ma’bad dalam Menentukan Pilihan
Oleh: Abu Hasan Mubarok. Gr. S.SI. M.Pd
Ketua MUI Kab. Penajam Paser Utara


Menjelang pemilihan umum pada 14 Februari 2024 ini masih banyak pihak yang menanyakan tentang siapa calon pemimpin yang akan mereka pilih. Iklim demokrasi mengharuskan kita sebagai individu diharuskan untuk menentukan pilihan, melalui mekanisme coblosan di bilik-bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS).

 


Tidak sedikit sekali orang yang menentukan pilihan dengan tuntunan agama, meskipun ada pula yang memilih dengan metode pura-pura. Pura-pura tidak tahu kalau di dalam agamanya sudah ada instrument untuk menentukan suatu pilihan. Bagaimanapun motivasinya, memilih dalam iklim demokrasi adalah sesuatu yang bersifat rahasia, hak masing-masing individu dan pilihan.

 

Rahasia dikarenakan setiap orang memiliki hak dalam menentukan pendapat. Sementara disebut pilihan, karena banyaknya kontestan atau kandidat yang nantinya akan dipilih di bilik-bilik suara. Keputusan mereka dalam menentukan siapa pemimpinnya, akan mengantarkan para kanditat yagn terpilih untuk duduk dan berposisi sebagai pemimpin selama lima tahun ke depan.

 

Di dalam ajaran agama Islam, sungguh banyak mekanisme dan metode dalam pengambilan keputusan ini. Di antaranya, mekanisme musyawarah, sholat istikhoroh, riyadhah ruhiyah, ittiba’ (mengikuti dengan syarat), taqlid (mengikuti tanpa syarat), dan juga dibuka opsi menentukan dengan jalur kebathinan mandiri.

 

Istilah jalur kebathinan mandiri sebetulnya hanya untuk membahasakan tentang suatu proses berfikir, mempertimbangkan beberapa variable dan fakta-fakta, harapan dan terbukanya opsi pilihan (ihtiyar), yang kesemuanya itu kemudian disaring melalui alat yang bernama akal, dan kemudian diserahkan kepada hati untuk diputuskan.

 

Sebetulnya, metode ini sering sekali dipakai oleh setiap Muslim dalam rangka menentukan pilihan mereka. Meskipun, terkadang tidak setiap keputusan lahir dari jalur metodologis langit seperti ini.

 

Dalam dunia thariqat, para salik (penempuh jalur Allah) menjadikan sholat istikharah sebagai bagian ritual yagn wajib dijaga. Mengapa demikian, hal ini dikarenakan, setiap hari setiap orang pasti akan dihadapkan pada berbagai macam pilihan dan diharuskan memberikan keputusan cepat dan tepat.

 

Lantas, bagaimana kita sebagai seorang Muslim melangkah dan menentukan Keputusan dalam rangka ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi Februari 2024 ini. Karena keputusan itu adalah Amanah, dan setiap Amanah akan dimintakan pertanggungjawabannya.

 

Ada kisah menarik dari seorang sahabat yang oleh sahabat lain dikategorikan “orang tak layak”. Namanya adalah Wabishah bin Ma’bad.

 

Penuturan dari Ayub bin Abdullah bin Mikraz, bahwa Washilah bin Ma’bad merupakan orang yagn suka bergaul dengan orang-orang miskin, bahkan dikatakan bahwa mereka adalah saudara-saudaraku di zaman Rasulullah saw ini. Ibnu Munduh sendiri mengatakan bahwa Wabishah ini adalah seorang yagn banyak menangis, sehingga tak ada lagi air di matanya.

 

Antara sahabat dengan Rasulullah saw ada perbedaan dalam menilai sosok Wabishah bin Ma’bad ini. Sementara para sahabat yang lain memberikan penilaian bahwa Wabishah ini orang yang tidak layak bersama Rasulullah saw, bahkan dalam level mendekat saja. Namun penglihatan Rasulullah saw tidak lah demikian, justru orang-orang yang selama ini lebih banyak waktu Bersama orang-oragn miskin, selalu bersedih dan menangis, justru mereka adalah orang-orang yagn memiliki keistimewaan di hati Rasulullah saw.

 

Suatu Ketika Wabishah bin Ma’bad RA ini ingin sekali mengerti tentang konsep kebaikan dan keburukan. Hingga beberapa hari dan kesempatan selalu ingin bertanya langsung kepada Rasulullah saw. Namun tidak pernah kesampaian maksud dan tujuannya. Hingga akhirnya, kesempatan itu tiba. Kisah ini disebutkan di dalam kitab Hilyatul Aulia sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar bin Khalad, dari al Haritsh bin Abi Usamah, dan Yazid bin Harun, dari Hamad bin Salamah, dari Zubair bin Abdissalam, dari Ayub bin Abdillah bin Mikr, dari Wabishah bin Ma’bad berkata: (Ketika) saya mendatangi Rasulullah saw dengan maksud dan harapan saya menapatkan informasi tentang konsep kebaikan dan dosa secara utuh. Ketika hendak bergerak mendekati Rasulullah saw, para sahabat menghardik, “Enyahlah kau Wabishah dari Rasulullah saw”. Lalu Rasulullah saw berkata, “tinggalkan dia, dan suruh mendekat kepadaku, karena dia (Wabishah) termasuk orang yang saya kasihi, suruh dia mendekat kesini”. Lalu Rasulullah saw berkata, “sini mari mendekat wahai Wabishah”. Lalu saya pun (Wabishah) mendekat sampai dengkulku bersentuhan dengan dengkul beliau. Rasulullah saw pun bertanyak, “wahai Wabishah, apa yang mendorong kamu datang kesini untuk bertanya kepadaku”? lalu Wabishah menjawab, “kabarkan kepadaku, wahai Rasulullah?” pinta Wabishah. Rasul pun menjawab, “tentang konsep kebaikan dan dosa”. Wabishah menjawab, “betul” lalu Rasulullah saw pun menggenggam jari-jari jemarinya dan didekatkan ke dada Wabishah, dan berkata, “wahai Wabishah, mintalah fatwa kepada hatimu, mintalah fatwa kepada dirimu. Kebaikan adalah apa yang hatimu tenang dan jiwamu damai, sedangkan dosa adalah apa yang menjadikan jiwamu resah, dadamu terasa sesak, sekalipun saya memberikan fatwa kepadamu ataupun orang lain”.

Di antara Pelajaran yang bis akita ambil dari kisah nyata ini adalah;

 

Pertama, apabila kita dihadapkan pada beberapa pilihan, di mana kita sendiri memandangnya sebagai nilai antara kebaikan dan keburukan. Maka sebagaimana arahan Rasulullah saw kepada Wabishah bin Ma’bad RA adalah dengan meminta fatwa kepada hatimu. Meminta penjelasan dan Keputusan kepada dirimu sendiri. Karena ia adalah amanah dan amanah akan dimintakan pertanggungjawabannya.

 

Ada ilustrasi yang sederhana dan cukup memberikan penjelasan tentang hati ini. Imam al Ghazali mengibaratkan antara hati dan akal bagaikan raja dan perdana Menteri. Raja (hati) adalah pemimpin yang memiliki kekuasaan muthlak, sementara perdana Menteri (akal) adalah penasihat yang memberikan saran dan pandangan secara rasional saja.

 

Mengapa hati? Imam Nawawi al Bantani dalam marah labid li kasyfi ma’aani quran al majid menjelaskan bahwa hati adalah tempat bersemayam kebenaran.

 

Kedua, kebaikan akan menuntun kepada ketenangan hati, kedamaian, kepuasan dan keridhaan. Apapun Keputusan dari setiap pilihan, bila peranan ini sudah dilalui. Maka berikutnya adalah ketenangan dan kedamaian. Adakah yang lebih tinggi di dunia ini dari hati yang tenang dan damai?

 

Ketiga, dosa adalah sesuatu yang dapat membuat dada kita terasa sesak, muncul rasa ketidakinginan untuk diketahui oleh orang lain. Dalam suatu Riwayat disebutkan wa karihta an yathali’a ‘alaihi an naas (rasa tidak suka karena terpaksa ihwalnya diketahui oleh orang lain).

 

Jadi, dalam menentukan suatu pilihan akan ada tiga alat utama yang difungsikan. Yaitu, hati, nilai kebaikan dan keburukan.

 

Selamat memilih, setiap pilihan adalah amanah dan setiap amanah akan dimintakan pertanggungjawabannya dihadapan Allah swt.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar