Rabu, 24 Januari 2024

“ES TELER”, Bolehkah?

 

“ES TELER”, Bolehkah?

Tinjauan Fatwa Ibnu Hajar al Haitami

Oleh: Abu Hasan Mubarok

Ketua Umum MUI Penajam Paser Utara

 

 

Mengenal sosok sang Imam

 

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al Haitami (909-974 H), adalah seorang ulama bermadzhab syafi’I, ahli hadits, Sejarah, dan teologi. Di antara karya beliau yang selalu dijadikan rujukan para ulama, terutama mazhab syafi’iyah adalah al fatawa al kubro al fiqhiyah, tuhfatul muhtaj bi syarh al Minhaj. Imam Ibn Hajar al Haitami ini adalah salah seorang murid Syaikhul Islam Zakaria al Anshari yang paling produktif dan fatwa-fatwanya selalu dijadikan rujukan.

 

Di dalam salah satu fatwa beliau disebutkan satu sub bab yang diberi judul karahiyatul tasmiyatil ‘inab bil karm. Beliau merujuk pada hadits sahihain yang berbunyi:

ولا تقولوا (( الكرم، إنما الكرم قلب المؤمن ))

Artinya: janganlah kalian mengatakan (menyebutnya) dengan al karm.

 

Di dalam Riwayat Imam Muslim redaksinya adalah:

لا تسموا العنب الكرم، وإنما الكرم قلب المؤمن

Artinya: Dan janganlah kalian menamai anggur dengan al karm, karena al karm adalah hati orang-orang yang beriman.

 

Menurut para ulama, hikmah pelarangan ini adalah kehawatiran Rasulullah saw akan dipersepsikan yang baik pada barang yang sudah jelas keharamannya. Lihat pada al fatawa al haditsiyah

 

Demikian pula pada penamaan ES TELER. Penamaan salah satu jenis minuman ini memang sudah familiar, Masyarakat juga mengetahui apabila meminum ES TELER ini tidak terjadi mabok atau hilang akal. Namun, penamaan ES TELER ini untuk mengundang rasa penasaran Masyarakat, dan pada akhirnya akan memutuskan untuk membelinya.

 

Bila kita tilik pada asal maknaya, frase ES TELER terdiri dari dua kata, yaitu ES dan TELER. Kata ES sendiri merujuk pada cairan padat yang bersifat dingin. Pada status ini, maka hukumnya dilihat pada bahan dasarnya, apabila bahan dasar yang digunakan berupa air, itu dari air yang suci dan mensucikan, atau air muthlak, maka dihukumi halal.

 

Permasalahan itu ada pada kata TELER. Kata TELER sendiri bila dirujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan tubuh tidak normal, lemas dan tidak berdaya karena pengaruh obat, alcohol. Kata TELER juga diidentikan dengan suatu kondisi es teler by vira79 on DeviantArtseseorang yang telah mengkonsumsi alcohol secara berlebihan yang mengakibatkan mabuk, dan hilang akal sehat.

 

Namun pada pilihan kata, ES TELER yang digabung menjadi satu bermakna salah satu jenis minuman dingin yang menyegarkan yang dibuat dari campuran buah-buahan, susu kental putih, air yang semuanya disatukan, untuk menambah rasa nikmat jenis minuman ini, maka ditambahi dengan serutan ES. Maka jadilah disebut ES TELER. Meskipun tidak menimbulkan rasa mabok atau hilang akan setelah meminumnya. Fakta ini sesuai dengan pandangan Rasulullah saw dalam melarang jenis makanan dan minuman pada masa jahiliyah yang kurang mencerminkan karakteristik oragn yang memimunya.

 

Sesuai dengan penjelasan Imam Ibnu Hajar al Haitami di atas, bahwa Rasulullah saw melarang penamaan al karm, sebagai ganti dari kata al ‘inab, dengan dalih bahwa al ‘inab sering dijadikan sebagai bahan dasar untuk pembuatan cairan yang memabukan. Jadi illathnya adalah hilang akal dan mabok-mabokan.

 

Syaikh Alawi bin Abdul Qadir as Saqaf menjelaskan perihal hadits di atas. Menurutnya, Ketika ajaran Islam datang, maka Islam melarang semua bentuk kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan bahkan mengarah pada kejahiliyahan. Salah satu bentuk ada istiadat kebudayaan mereka adalah penyebutan nama al karm sebagai ganti dari kata al ‘inab.

 

Menurutnya, bahwa penggunaan nama yang tepat sesuai dengan kaidah Islam merupakan langkah yagn sangat tepat. Karena hal ini untuk memperbaiki kefahaman, menghadirkan ikatan hati, akal dengan Masyarakat. Al karm biasa untuk menyuebutkan qalbul mukmin, ar rajul al muslim as sholih. Pemberian nama ini sangat Istimewa, mengingat arti dan maksud tujuan penamaan itu sendiri.

 

Menurut Saiykh as saqaf bahwa orang yang qalbul mukmin adalah orang yang telah dipilih oleh Allah, sosok yang hatinya senantiasa dikaruniai dengan orang soleh. Karena menurut Muslim, hatinya orang yang beriman itu dipenuhi dengan Cahaya ketakwaan, keislaman.

 

Opsi yagn bisa ditawarkan untuk pengganti nomenklatur ES TELER ini bisa dengan ES BERKAH. Dll,




Selasa, 23 Januari 2024

4 Tanda Orang Beruntung

 Oleh: Abu Hasan Mubarok

Ketua Umum MUI Penajam Paser Utara

 

Semua orang menghendaki keselamatan, keberhasilan dan acap kali keberuntungan. Keberuntungan ini identik dengan suatu ketetapan yang transenden, manusia sering kali tidak menyadari akan apa yang terjadi, namun juga manusia diberikan kemampuan untuk memprediksi.

Di dalam al qur’an kata “beruntung” sering menjadi pilihan kata untuk menterjemahkan kata aflaha. Setidaknya ada 4 tempat penyebutan kalimat aflaha di dalam al qur’an. Kedelapan itu pada; Toha; 64, al Mukminun; 1, al A’la; 14, asy syams. Dari keempat tempat di atas, dua diantaranya adalah menggambarkan bagaimana karakteristik orang yang beruntung.

Salah satu yang diterangkan sebagai tanda atau ciri orang yang beruntung tadi adalah di dalam surat al A’la ayat 14-16. Berikut tanda-tanda orang yang beruntug dan penjelasannya.


Pertama, orang yang tazakka. Tazakka adalah bentuk fi’il (kata kerja) dengan mengikuti pola wazan tafa’ala. Pola ini bisanya memiliki tiga makna, yaitu; 1) takalluf, yaitu menjadikan pelaku suatu pekerjaan adalah identitasnya. 2) shoirurah, yaitu menjadikan suatu benda dengan sesuatu kerja. 3) muwafaqah shighah, yaitu penampakan akan fi’il infa’ala. Mengikuti pola tersebut. Maka kalimat tazakka, lebih bermakna pada at takalluf. Yaitu menjadikan karakter tertentu sebagai identitas si pelaku.

 

Kalimat tazakka sendiri bila diterjemahkan memiliki arti orang yang mensucikan diri. Imam al Qurthubi (w. 671 H) menjelaskan makna tazakka dalam tafsirnya. Menurutnya kalimat tazakka memiliki beberapa makna di antaranya adalah; mensucikan dirin dari kesyirikan dan mengisinya dengan keimanan, amal perbuatan yang dikerjakan dengan tulus, amalan soleh, mengeluarkan zakat fitrah, zakat pekerjaan yaitu dengan cara membersihkan amalan diri dari sikap riya dan peremehan.

 

Kedua, berdzikir kepada Allah swt. Tidak dipungkiri ibadah dzikir adalah ibadah yang paling mudah. Bahkan salah satu lafaz dzikir yang mudah diucapkan namun bobot nilainya melebihi timbangan amal di akhirat, yaitu lafaz subhanaAllah wabihamdihi, subhala Allahil ‘adzim. Dua lafaz dzikir ini sebagaimana dituturkan oleh Rasulullah saw adalah ringan di lidah, mendatangkan kecintaan ar Rahman, namun berat ditimbangan.

 

Ketiga, mengerjakan sholat. Terkait ini, Abdullah bin Abbas RA menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah menjalankan sholat lima waktu dan juga sholat-sholat sunnah. Terkait ini ada Riwayat dari Marwan bin Mu’awiyah dari Abi Khaldah bahwa; Abu Khaldah masuk ke rumah Abu al ‘Aliyah dan berkata, “bila esok hari kamu pergi menuju sola ied, maka ajak saya”. Lalu Abu Aliyah pun mengajaknya dan berkata, “apakah kamu sudah makan sesuatu?” lalu dijawab, “ya”. Lalu ditanya Kembali, “apakah disediakan air? Lalu dijawab, “ya”. Lalu ditanya Kembali, “apa yang kamu lakukan dengan zakatmu?”. Lalu dijawab, “sudah saya tunaikan” sesungguhnya saya menghendaki ini darimu.

 

Hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz Ketika memerintahkan rakyatnya untuk mengeluarkan zakat fitrah sembari membaca ayat qad aflaha man tazakka wadzakarasma rabbihi fashalla.

 

Keempat, mementingkan kehidupan akhirat daripada dunia. Sudah menjadi identitas umum bahwa orang-orang yang beriman adalah lebih menghendaki kehidupan di akhirat daripada kehidupan dunia. Abu Musa al ‘Asyari pernah meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa, “barangsiapa dijadikan urusan dunianya lebih dicintai daripada urusan akhiratnya, maka Allah akan membuatnya sulit. Dan barangsiapa memilih akhiratnya daripada dunianya, maka akan dipersulit urusan dunianya. Maka pilihlah yang kekal daripada yang rusak atau binasa”.

 

 

Senin, 22 Januari 2024

Harmoni Kerukunan Umat Beragama, Berbangsa dan Bernegara dalam Pandangan Islam

Oleh: Abu Hasan Mubarok, Gr. S.SI. M.Pd

Ketua Umum MUI Penajam Paser Utara


Pondasi berfikir

Islam merupakan ajaran agama yang diturunkan oleh Allah swt melalui Malaikat Jibril diamanahkan kepada Nabi Muhammad saw dan dipraktekan dan dijaga oleh para orang-orang pilihan. Allah swt berfirman dalam surat al Hijr ayat 9:

إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَـٰفِظُونَ

Artinya: sesungguhnya Kami yang telah menurunkan al qur’an dan Kami pula yang akan menjaganya.

 

Diriwayatkan dari Tamim ad Daari RA, Rasulullah saw bersabda:

إن الدين النصيحة، إن الدين النصيحة، إن الدين النصيحة. قالوا: لمن يا رسول الله؟ قال: لله، وكتابه، ولنبيه، ولأئمة المؤمنين وعامتهم.

Artinya: sesungguhnya agama adalah nasehat, sesungguhnya agama adalah nasehat, sesungguhnya agama adalah nasehat. Para sahabat bertanya, “bagi siapakah ya Rasulullah?”. Rasulullah saw berkata, “Bagi Allah, kitab-Nya, Nabi-Nya, dan para pemimpin orang-orang beriman dan umat mereka”.

 

Syaikh Alawi bin Abdul Qaddir as Saqqaf menjelaskan makna hadits ini adalah bahwa hadits ini menjelaskan tentang pedoman dalam memberikan nasehat, bagaimana dan seperti apa? Nasehat adalah keinginan untuk mendapatkan kebaikan bagi orang yang diberi pesan. Bisa juga dimaknai dengan;

لفظ جامع لمعان شتى

Artinya: lafaz yang jami’ (menyeluruh) dan memiliki makna banyak.

 

Kedudukan nasehat dalam agama adalah agama itu sendiri. Ada 4 objek yang disebut dalam hal nasehat ini, yaitu:

 

1.    Allah >>> sikap mengagungkan akan perintah-Nya

2.    Kitab-Nya >>> sikap mengimani al qur’an sebagai sumber terpercaya yang harus diimani, diyakini dan diikut petunjuknya.

3.    Nabi-Nya >>> sikap mencontoh, meneladani dan mengikutinya.

4.    Para pemimpin orang-orang beriman dan orang-oragn awam >>> membantu mereka dalam hal kebenaran, ketaatan, kebaikan, mengingatkan mereka dengan kelembutan.

 

Kedudukan agama dalam kesepakatan undang-undang dan aturan yang berlaku di negara kita telah dijamin dan diatur dalam peraturan, di antaranya:

1.    Pembukaan UUD 1945 alinea 3, yang berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

2.    Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945 secara umum mengatur tentang kebebasan warga negara Indonesia untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai ajaran masing-masing. Berikut ini bunyi Pasal 29 Ayat 1 dan 2 yang berkaitan dengan pengamalan sila 1 Pancasila: Pasal 29 Ayat 1: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" Pasal 29 Ayat 2: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu."

3.    UU HAM No. 39 Tahun 1999 pada Pasal 22 yang berbunyi: Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

 

Definisi berbangsa dan bernegara adalah manusia yang memiliki kepentingan yang sama dalam menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah nusantara atau indonesia dan mempunyai cita cita yg berlandaskan niat untuk bersatu secara emosional dan rasional dalam membangun rasa nasionalisme secara ekletis kedalam sikap perilaku antar yang berbeda ras,agama,asal keturunan,adat istiadat, kebiasaan,bahasa,dan sejarah, dan perbedaan lainnya.

 

Kepentingan yang sama ini tercermin dalam nilai-nilai bela negara yang lima, yaitu:

1.    Cinta tanah air

2.    Kesadaran berbangsa dan bernegara

3.    Pancasila

4.    Rela berkorban untuk bangsa dan negara

5.    Kemampuan bela negara.

 

Adapun tujuan berbangsa dan bernegara itu sendiri telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 pada Alinea ke-4 yang berbunyi “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaa, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Dari pembukaan ini ada 4 tujuan kita berbangsa dan bernegara, yaitu:

1.    Keamanan

2.    Kesejahteraan

3.    Pencerdasan

4.    Menjaga ketertiban dunia

Islam memandang bahwa semua manusia berasal dari satu sumber yang sama, Tuhan yang sama yaitu, sang pencipta. Sang pencipta ini disebut pertama kali dengan istilah Tuhan, yaitu Tuhan yang telah menciptakan. Oleh karenanya firman yang pertama kali turun adalah QS al ‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi;

اقرأ باسم ربك الذى خلق خلق الإنسان من علق

Artinya: bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan, Dia telah mencitapakan manusia dari segumpal darah.

 

Sadiq Hasan Khan dalam tafsirnya fathul bayan menerangkan bahwa ayat ini sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Syaddad bahwa Rasulullah saw didatangi oleh Jibril dan berkata, “Ya Muhammad, bacalah!” lalu Muhammad menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Begitu seterusnya sambil Jibril AS mendekap dada Rasulullah saw, hingga akhirnya, Rasulullah saw pun bisa menjawab dan meneruskan bacaannya. Selanjutnya disebutkan bahwa kalimat alladzi kholaq itu bermakna sebagai suatu anugerah yang paling besar, yaitu kehidupan. Dari awal kehidupan/penciptaan inilah kemudian lahir berbagai karunia-karunia yang lainnya.

 

Pak Quriasy (Panggilan akrab untuk Prof. Dr. Qurasiy Syibah) salah satu pakar al qur’an dan pendiri Pusat Studi al Qur’an (PSQ) menyebtukan bahwa wahyu pertama yang turun ini mengetuk dasar kesadaran manusia, yaitu penyebutan nama “tuhanmu” bukan nama “Allah”, yang kala itu memang juga sudah dikenal secara umumum.

 

Kemudian, Allah swt mengingatkan kita firman-Nya QS al Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرࣲ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبࣰا وَقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوۤا۟ۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِیمٌ خَبِیرࣱ

Artinya: wahai manusia, sesungguhnya Kami telah mencitpaakn kalian dari satu laki-laki (Adam) dan satu Perempuan (Hawa), dan dari keduanya Kami jadikan kalian menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah swt adalah orang yang paling bertakwa, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti.

 

Pada lafaz lifa’arufuu. Kembali Sayyid Khan menjelaskan bahwa penciptaan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu agar kalian saling mengenal satu sama lain, yaitu dengan saling menisbatkan kepada nasabnya (asal keturunannya) dan tidak saling menang-menangan, kalah mengalahkan. Sehingga dengan itu tersambung kasih sayang, dan bukan untuk saling meninggikan keunggulan nasab. Oleh karena itu, Allah menyusul kemudian dengan sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Yaitu orang yang paling menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

 

Dalam Bahasa arab, bangsa-bangsa disebut dengan lafaz شعوب. Lafaz ini sendiri berasal dari ilmu social dan politik yaitu untuk menunjukan suatu perkumpulan dari individu atau kelompok-kelompok yang saling hidup berdampingan dan membentuk suatu peradaban, adat-istiadat sendiri dan menetap di satu kawasan yang sama.

 

Seorang penyair dari generasi tabi’in Zubair bin Bakar (w. 256 H) mengatakan bahwa struktur sosial Masyarakat Arab terdiri dari; Sy’ab, Qabilah, ‘Imarah, Bathn, Fakhd, Fashilah.

 

Sementara kalau dalam adat istiada orang jawa dikenal trah. Adapun trahnya adalah; bapak/ibu, simbah/eyang, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, gropak senthe, debog bosok, galih asem, gropak waton, cendheng, giyeng, cumpleng, ampleng, menyaman, menya-menya, trah tumerah.

 

Merujuk ke Wikipedia untuk silsilah orang Banjar sendiri terdiri dari; abah/uma, kai/nini, datu, sanggah, waring. Sementara ke bawahnya terdiri dari: anak, cucu, buyut, indah/muning. Sementara untuk penyebutan saudara tertua disebut Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha. Saudara Tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, sementara lainnay disebut Pakacil (paman muda/kecil), dan yang paling muda disebut Busu.

 

Dari sini juga dapat Pelajaran bahwa implementasi ajaran Islam itu adalah  bukan untuk memukul budaya dan identitas lainnya. Justru Islam itu datang dengan membawa misi sebagiamana firman-Nya QS al Anbiya ayat 107.

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا رَحۡمَةࣰ لِّلۡعَـٰلَمِینَ

Artinya: dan tidaklah Kami utuskamu kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam.

 

Risalah Nabi Muhammad saw adalah syari’at (jalan hidup) dan hukum-hukum. Dengan kedua sayap ini, maka akan menjadi rahmat bagi manusia dan jin. Sayyid Khan juga mengatakna bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah rahmat bagi orang-orang di luar Islam, yaitu mereka diselamatkan dari kegelapan, kerusakan dan perpecahan.

 

Dan di antara ciri-ciri ajaran Islam yagn dibawa oleh Rasulullah saw itu sendiri adalah sebagaiman dituturkan oleh beliau saw sendiri dalam beberapa sabdanya, seperti;

إني لم أبعث لعاناً، وإنما بعثت رحمة

Artinya: sesungguhnya, saya ini diutus tidak sebagai pelaknat, sesungguhnya saya ini diutus untuk membawa rahmat.

 

Dalam Riwayat yang lain disebutkan:

إن الله بعثني رحمة للعالمين وهدى للمتقين

Artinya: sesungguhnya Allah mengutus saya sebagai bentuk rahmat bagi seluruh alam, dan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.

 

Dalam Riwayat Salman, disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

أيما رجل من أمتي سببته سبة في غضبي أو لعنته لعنة، فإنما أنا رجل من بني آدم أغضب كما يغضبون، وإنما بعثني رحمة للعالمين، فأجعلها عليه صلاة يوم القيامة

Artinya: laki-laki manapun dari kalangan umatku yang telah mencela dengan celaan atau melaknat hingga memancing kemarahanku, ketahuilah bahwa sesungguhhya saya ini berasal dari keturunan Adam, saya bisa marah sebagaimana kalian bisa marah, namun Tuhanku telah mengutusku untuk kasih sayang, lalu saya jadikan itu sebagai bentuk doa untuk hari kiamat.

 

Mengenal Prinsip Kerukunan dan dalam Islam

 

1.    Tidak ada paksaan dalam beragama, lihat firman Allah QS al Baqarah ayat 256

لَاۤ إِكۡرَاهَ فِی ٱلدِّینِۖ

Artinya: tidak ada paksaan dalam beragama.

Beberapa kisah yang telah terjadi pada zaman Rasulullah saw terkait ayat ini. Di antaranya:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA bahwa ayat ini terkait dengan seseorang laki-laki dari Anshar dari Bani Salim bin ‘Auf yang bernama al Hushaini. Bahwa al Hushaini memiliki dua anak yang telah beragama nashrani, sementara dirinya adalah sorang Muslim. Maka dia berkata kepada Rasulullah saw, “Tidakkah saya memaksa kedua anak saya, karena keduanya tetap ingin menjadai nashrani”. Maka turunlah ayat ini.

Ibnu Jarir sebagaimana diriwayatkan oleh as suddi menambahkan kisah ini bahwa kedua anak al Hushaini telah menjadi nashrani melalui para pedangan yang datang dari Syam, di mana mereka membawa minyak. Ketika keduanya hendak pergi mengikuti para pedangan itu, al hushaini menolak keduanya dan memaksanya, lalu al Hushaini meminta kepada Rasulullah saw untuk mengikuti keduanya, lalu turun lah ayat ini.

 

2.    Berinteraksi social secara baik dan proporsional kepada non muslim, tidak memusuhi, tidak memerangi. Lihat firman Allah swt QS al Mumtahanah ayat 8

لَّا یَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِینَ لَمۡ یُقَـٰتِلُوكُمۡ فِی ٱلدِّینِ وَلَمۡ یُخۡرِجُوكُم مِّن دِیَـٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِینَ

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan bahwa ayat ini adalah penjelasan bahwa tidak ada larangan untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang selain Islam, selama mereka tidak melakukan kerusakan. Bahkan kita diperintahkan untuk selalu berbuat baik dan bersikap adil kepada mereka.

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أَسْمَاءَ -هِيَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا-قَالَتْ: قَدَمت أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدُوا، فأتيتُ النَّبِيَّ ﷺ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: "نَعَمْ، صِلِي أُمَّكَ" صحيح البخاري

 

Diriwayatkan dari Fathimah binti al Mundzir dari Asma binti Abi Bakar RA berkata; suatu Ketika, ibu saya datang (ke Madinah, sementara dia berstatus seorang musyrik), lalu saya datang kepada Rasulullah saw dan bertanya, “Ya Rasulullah, ibuku datang ke rumah, sementara dia menginginkan saya meladeninya, apakah saya harus berinteraksi dengannya?”. Lalu Rasulullah saw pun menjawab, “ya, berinteraksilah dengan ibumu”. Abdullah bin Zubair menceritakan bahwa cerita ini adalah bahwa Ibunya Asma membawa beberapa hadiah.

 

Atas dasar ini, maka Imam Ibnu Hajar dalam fathul bari syarah sahih al bukhari berkata;

جواز معاملة الكفار فيما لم يتحقق تحريم على المتعامَل فيه، وعدم الاعتبار بفساد معتقدهم ومعاملاتهم فيما بينهم " .

Artinya: diperbolehkan berinteraksi dengan orang-orang kafir (non muslim), selama tidak pada perkara-perkara yagn diharamkan. Dan dilarang untuk melakukan Tindakan merusak keyakinan mereka, dan merusak hubungan sesama mereka.

 

Atas dasar itulah, maka ketika Komisi Fatwa MUI akan mengeluarkan Fatwa No. 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan Terhadap Perjuangan Pancasila, di mana di dalamnya terdapat larangan untuk membeli barang-barang yang terafiliasi terhadap para penjajah, Israel terhadap bangsa Palestina. MUI bersikap sangat hati-hati, kehatian-hatian MUI terletak pada tidak menggunakan kalimat atau diksi yang keras yaitu dengan menggunakan diksi “menghindari interaksi”.

 

3.    Tidak mengolok-olok, menghina Tuhan, mengejek, lihat firman Allah swt QS al An’am ayat 108:

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَیَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَیۡرِ عِلۡمࣲۗ كَذَ ٰلِكَ زَیَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرۡجِعُهُمۡ فَیُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

 

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan bahwa ayat ini adalah larangan dari Allah swt kepada Rasulullah saw untuk melakukan pencelaan terhadap tuhan-tuhan sesembahan orang-orang kafir Quraisy. Meskipun dalam pencelaan itu terdapat maslahat (kebaikan atau bertambahnya keimanan).

 

Ali bin Abi Thalhah dari Abdullah bin Abbas bercerita bahwa mereka orang-orang kafir berkata, “Wahai Muhammad, silahkan selesaikan cercaanmu untuk tuhan-tuhan kami, atau kami yang akan menyerang tuhanmu” kemudian turunlah ayat ini.

 

Abdu Razaq meriwayatkan dari Ma’mar dari Qatadah bahwasanya umat Islam dahulu itu mencela patung-patung orang-orang kafir, lalu mereka pun (orang-orang kafir) berbalik menyerang Allah sebagai bentuk pembalasan tanpa didasari dengan pengetahuan. Kemudian turunlah ayat ini.

 

4.    Tidak mencampur-adukan ajaran Islam dengan agama lain. Lihat firman Allah swt QS al Imran ayat 64, al Kafirun 1-6.

قُلۡ یَـٰۤأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ تَعَالَوۡا۟ إِلَىٰ كَلِمَةࣲ سَوَاۤءِۭ بَیۡنَنَا وَبَیۡنَكُمۡ أَلَّا نَعۡبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشۡرِكَ بِهِۦ شَیۡـࣰٔا وَلَا یَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا أَرۡبَابࣰا مِّن دُونِ ٱللَّهِۚ فَإِن تَوَلَّوۡا۟ فَقُولُوا۟ ٱشۡهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ

Artinya: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿ ١﴾

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,

لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿ ٢﴾

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿ ﴾

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

 وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ ﴿ ٤﴾

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,

  وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿ ٥﴾

dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

  لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿ ٦﴾

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".

 

Ada kisah menarik yaitu pada waktu menjelang wafatnya Abu Thalib. Dan, kita semua tahu bagaimana sejarah dan peranan Abu Thalib terhadap Islam. Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib dari Ayahnya berkata;

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، فَقَالَ«أَيْ عَمِّ، قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ». فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ: عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. وَأَبَى أَنْ يَقُولَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم«وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ». فَأَنْزَلَ اللهُ: ﴿مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ[التوبة: 113، وَأَنْزَلَ اللهُ فِي أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ﴿إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ[القصص: 56.

Artinya: menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulullah saw datang, sementara di sana sudah terlebih dahulu datang, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al Mughirah. Lalu Rasulullah saw mengajak pamannya berkata, “Wahai Paman, katakanlah laa ilaaha illa Allah, dengan kalimat ini nanti saya akan berhujah dihadapan Allah”. Lalu Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Apakah Kamu (Abu Tholib) membenci agama Abdul Mutholib?” dan begitu seterusnya, yang terjadi antara Rasulullah saw dengan Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah, sampai terakhir Abu Thalib mengatakan, “di atas ajaran Abdul Mutholib”, dan menolak untuk mengucapkan laa ilaaha illa Allah. Lalu Rasulullah saw pun berkata, “Saya akan terus memintakan ampunan kepada Allah, selama hal ini tidak dilarang oleh-Nya”. Lalu turunlah firman Allah QS at Taubah ayat 113 (( tidaklah patut bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan bagi orang-orang yang musyrik )). Begitupula surat al Qashash ayat 56 (( sesungguhnya kamu tidak akan bisa memberikan hidayah kepada orang-orang yagn kamu sukai, namun hidayah adalah dari Allah kepada yang dikehendaki )).

 

5.    Menegakan prinsip pokok dalam keimanan, apabila terjadi perseteruan

Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam QS al Ankabut ayat 46;

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَـٰهُنَا وَإِلَـٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya: dan janganlah kalian berbantah-bantahan terhadap ahlul kitab kecuali dengan jalan yang lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat dzalim di antara mereka, dan katakanlah sesungguhnya Kami beriman pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan diturunkan kepada kalian, tuhan kami dan tuhan kalian adalah satu, dan kami kepada-Nya adalah oragn yang berserah diri.

 

6.    Rasulullah saw menyatakan perang terhadap Muslim yang menyerang Dzimmi. Disebutkan dalam sebuah hadits;

من آذى ذميا فأنا خصمه

Artinya: Barangsiapa menyakiti Dzimmi, maka saya (Rasulullah) adalah musuhnya. Hadits hasan

 

Disebutkan dalam almausu’ah al fiqhiyah al kuwaitiyah bahwa arti kata dzimmi adalah keamanan dan perjanjian. Jadi ahlu dzimmah adalah penduduk yang dalam perjanjian dan keamanan terjamin. Dalam istilah para fuqaha, dzimmi adalah dinisbatkan kepada dzimmah, yaitu seseorang yang dalam ikatan janji dari imam yang ditanggung akan keamanan, harta, kehormatan. Olah karena itu, mereka harus membayar jizyah. Ahludzimmah bisa dari kalangan ahlul kitab (yahudi dan nashrani), bisa dari kalangan selain mereka, seperti majusi. Lihat juga pada Ibnu ‘Abidin, Tafsir al Qurthubi, Qalyubi, al Muhadzab lil Syairazi, al Mughni al muhtaj li Maqdisi.

 

Diriwayatkan dari Shafwan bin Salim dari beberapa anak para sahabat Rasulullah saw, bahwa Rasulullah saw bersabda:

ألا من ظلم معاهَدَاً ، أو انتقصه حقه ، أو كلفه فوق طاقته ، أو أخذ منه شيئا بغير طيب نفس منه ، فأنا حجيجه يوم القيامة . رواه أبو داود .

Artinya: Ketahuilah, barangsiapa mendzalimi mu’ahid, atau mengurangi haknya, atau memberikan beban kepadanya di luar kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya dengan cara yagn tidak baik, maka saya (Rasulullah) adalah orang yang akan mendebatnya pada hari kiamat. HR. Abu Daud.

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar RA dari Rasulullah saw bersabda;

من قتل نفسا معاهَدَاً لم يَرِح رائحة الجنة ، وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما.رواه البخاري .

Artinya:  barangsiapa membunuh mu’ahid, maka tidak akan pernah mencium baunya surga, meskipun baunya sudah tercium dari jarak empat puluh tahun. HR. Bukhari.

 

7.    Rasulullah saw membuat indikator kebaikan dan keburukan pada seseorang

خيركم من يرجى خيره ويؤمن شره وشركم من لا يرجى خيره و لا يؤمن شره

Artinya: sebaik-baik kalian adalah manusia yang kebaikannya selalu ditunggu, dan aman dari keburukannya. Sedangkan seburuk-buruk manusia adalah orang yang kebaikannya tidak ditunggu dan orang lain tidak akan aman dari keburukannya. Sanad hadits ini sahih.